Download versi cetak: 1229_KebaktianPagi_2025-14-Sep
Eksposisi Matius (85): Berdoa Bagi Musuh
Matius 5:43-48
Pdt. Adrian Jonatan, M.Th.
*Ringkasan khotbah ini belum diperiksa pengkhotbah
Di dalam khotbah terakhir kita membahas hukum “mata ganti mata dan gigi ganti gigi” serta bagaimana Yesus merespons hukum ini. Sekilas, tampaknya Yesus bertentangan dengan hukum tersebut, tetapi sebenarnya tidak demikian. Musa memberikan hukum itu dalam konteks manusia yang sudah jatuh dalam dosa, sebagai hukum konsekuensial untuk membatasi kerusakan lebih lanjut. Karena itu, Yesus tidak mengatakan hukum itu salah atau tidak perlu, melainkan menegaskan bahwa hukum itu benar dan harus tetap ada. Namun, Yesus mengajak pendengar-Nya melihat sesuatu yang lebih tinggi, sebab Ia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya. Jadi, hukum ini memang hanya mampu menjaga agar dosa tidak semakin merusak, tetapi Yesus menyingkapkan tujuan yang lebih besar daripada sekadar mencegah kerusakan.
Di dalam khotbah yang lalu juga kita melihat berbagai usaha manusia untuk mengatasi kesengsaraan akibat dosa. Kita melihat di cerita Les Misérables, ada yang beranggapan hukum sudah cukup, ada yang berpikir pemimpin jahat harus disingkirkan, atau kemiskinan diatasi dengan uang. Namun, semua itu tidak mampu membawa dunia keluar dari penderitaan dosanya. Justru di tengah kondisi ini, Tuhan berbelaskasihan dengan memberikan hukum mata ganti mata. Hukum ini membatasi pembalasan dendam agar tidak terus berlanjut, menegakkan keadilan dengan adil, satu mata ganti satu mata, baik bagi rakyat biasa maupun raja. Dengan begitu, dendam berhenti dan masyarakat bisa lebih tenang. Tanpa hukum ini, dunia akan jatuh dalam kekacauan, di mana kejahatan tidak dihukum dan yang kuat akan selalu menang. Contohnya di Indonesia, ketika ada kasus korupsi besar yang tidak dihukum dengan adil, masyarakat marah karena merasa keadilan diabaikan. Karena itu, hukum ini penting sebagai dasar keteraturan dan penegakan keadilan di tengah dunia yang sudah rusak.
Ketika Yesus berkata: “Tetapi Aku berkata kepadamu”, Ia tidak sedang menentang atau meremehkan hukum Musa. Sebaliknya, Yesus menawarkan sesuatu yang tidak dimiliki dunia ini. Yesus menawarkan kuasa yang hanya berasal dari kerajaan surga. Kuasa yang bukan untuk menindas atau membalas kejahatan dengan kekerasan, melainkan kuasa yang mampu menyerap kejahatan dan kepahitan tanpa membalasnya. Seperti ranjang atau bantal yang menerima berat tubuh ketika seseorang melompat ke atasnya tanpa memantulkan kembali dengan kekuatan yang sama, demikianlah kuasa yang Yesus maksud. Kuasa ini sulit dimengerti oleh dunia, dan Yesus menjelaskannya dengan tiga contoh yang harus dilihat dalam konteksnya agar maksud-Nya dipahami.
Pertama, ketika seseorang menampar pipi kanan, itu bukan sekadar pukulan fisik, melainkan serangan yang menyakiti hati dan keberadaan kita. Namun, dengan kuasa dari surga, kita dapat memberikan pipi yang lain. Kedua, jika ada yang menuntut sampai mengambil baju kita, Yesus mengatakan kita bahkan dapat memberikan jubah, yang melambangkan hak paling dasar yang seharusnya tidak boleh dirampas. Artinya, kuasa ini memberi kerelaan untuk melepaskan hak yang paling hakiki. Ketiga, jika seorang prajurit memaksa berjalan satu mil untuk membawa peralatannya, Yesus mengajarkan agar kita bersedia berjalan dua mil. Ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan kewajiban atau tugas kepada orang lain, kita tidak hanya melakukannya sebatas kewajiban, melainkan juga dengan kerelaan untuk memberi lebih, sebagai wujud kasih dan pelayanan.
Contoh-contoh yang Yesus berikan menunjukkan bahwa kuasa kerajaan surga mampu mengalahkan kebencian serta menyerap kepahitan dan kegelapan dunia. Kerajaan surga adalah tempat di mana kegelapan tidak dapat bertumbuh. Yesus sendiri tidak hanya mengajarkannya, tetapi juga melakukannya. Saat ditampar, Ia memberikan seluruh diri-Nya; ketika jubah-Nya dirampas, Ia merelakannya; dan ketika dipaksa memikul salib, Ia terus berjalan sampai ke tempat penyaliban. Inilah kuasa kerajaan surga yang nyata dalam diri-Nya, kuasa yang juga diundangkan kepada kita. Hanya Yesus yang bisa berkata “tetapi Aku berkata kepadamu” karena Ia memberikan kuasa untuk melakukannya. Namun, untuk menjalani hal ini dibutuhkan penyangkalan diri. Kuasa itu bukan dari kita, melainkan dari Tuhan melalui Roh Kudus. Yang sering mengikat kita adalah keterikatan pada diri sendiri. Jika tidak melepaskan diri dari pusat pada ego, kita menjadi sensitif, curiga, dan iri hati, selalu dipengaruhi oleh perlakuan orang lain. Kita perlu belajar menyangkal diri dan meminta kuasa Tuhan agar dapat hidup sesuai dengan ajaran Yesus.
Hari ini kita melanjutkan pada ayat 43–48, ketika Yesus berkata: “Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu.” Sekilas, ini tampak seperti firman, namun Yesus sebenarnya menyinggung pemahaman yang berkembang di zaman itu. Karena itu penting bagi kita untuk melihat konteks hukum dalam Perjanjian Lama sebelum memahami apa yang Yesus maksud dengan “tetapi Aku berkata kepadamu.” Hukum ini tidak pernah tertulis secara eksplisit dalam Taurat Musa. Musa tidak pernah memerintahkan untuk mengasihi sesama lalu membenci musuh. Pernyataan itu muncul sebagai kesimpulan yang ditarik manusia dari beberapa hukum Tuhan. Namun, kesimpulan ini lahir dari keterbatasan manusia berdosa yang hidup dalam dunia yang telah jatuh dalam dosa.
Di dalam hal ini marilah kita melihat beberapa ayat. Perintah pertama adalah perintah mengasihi sesama yang dapat kita lihat di Imamat 19:18. Sekilas, ayat ini tampak hanya berlaku bagi orang sebangsa, sehingga mudah disalahpahami sebagai hukum yang menekankan supremasi etnis tertentu. Namun sebenarnya bukan itu maksud Musa. Ia menegaskan bahwa kasih harus diwujudkan secara nyata, dimulai dari orang-orang yang paling dekat dengan kita, tetangga, pasangan, orang tua, atau anak. Mengasihi yang jauh mungkin mudah diucapkan, tetapi justru mengasihi yang ada di sekitar kita sering lebih sulit. Karena itu, perintah ini bukan teori, melainkan panggilan untuk melakukan kasih secara praktis. Tuhan menuntut kasih yang nyata, dimulai dari orang-orang terdekat, sebelum kita berbicara tentang mengasihi mereka yang jauh.
Perintah kedua yang sering disalahpahami berkaitan dengan ide membenci musuh. Di sini penting dibedakan antara hukum dan perintah. Hukum bersifat menyeluruh dan tetap, sedangkan perintah bersifat kontekstual untuk situasi tertentu. Tuhan pernah memberi perintah khusus kepada Israel untuk menghukum dan menumpas bangsa-bangsa Kanaan ketika mereka masuk ke tanah perjanjian, seperti tercatat dalam Ulangan 7:2. Perintah ini bukan hukum umum, melainkan tindakan khusus karena Israel dipakai Tuhan sebagai alat penghukuman atas bangsa-bangsa Kanaan yang melakukan kejahatan-kejahatan besar. Tuhan telah begitu sabar terhadap mereka, namun akhirnya tiba saatnya penghukuman itu dijalankan.
Beberapa ratus tahun sebelum Israel kembali ke tanah perjanjian, Tuhan telah berjanji kepada Abraham bahwa tanah itu akan diberikan kepadanya, tetapi bukan saat itu karena kejahatan bangsa-bangsa Kanaan belum genap. Tuhan mengetahui kejahatan manusia dan memiliki waktu-Nya sendiri untuk menghakimi. Karena itu, ketika Israel keluar dari Mesir dan masuk ke Tanah Kanaan, mereka tidak diperintahkan untuk menghancurkan semua bangsa sesuka hati. Hanya tujuh bangsa Kanaan yang harus ditumpas, karena Israel dipakai Tuhan sebagai alat penghukuman atas mereka. Tuhan berhak memakai Israel atau bahkan bangsa lain untuk melaksanakan hukuman, sebagaimana Ia juga pernah memakai bangsa asing untuk menghukum Israel sendiri.
Dalam PA Nabi-Nabi kecil kita melihat bahwa Tuhan sering memakai bangsa lain, seperti Asyur dan Babel, untuk menghukum. Demikian juga ketika Israel diperintahkan menumpas bangsa Kanaan, itu bukan hak untuk menghancurkan siapa saja, melainkan perintah khusus sebagai pelaksanaan hukuman Tuhan. Namun ketika Israel tidak memberikan hukuman itu bukan karena belas kasih, melainkan karena mereka menginginkan apa yang dimiliki bangsa-bangsa tersebut, termasuk praktik keagamaan yang rusak, seperti prostitusi dalam ibadah dan penyalahgunaan anak. Karena itu Tuhan marah, sebab jika bangsa Kanaan tidak dimusnahkan, praktik dan ideologi mereka akan merusak Israel. Maka, perintah itu justru lahir dari kasih Tuhan kepada Israel. Ketika Israel membiarkan bangsa-bangsa itu tetap ada, mereka menjadi duri dalam daging bagi Israel. Dengan demikian, ini adalah perintah kontekstual, bukan hukum umum.
Yang ketiga dapat kita lihat dari mazmur-mazmur yang berisi doa kutukan terhadap musuh, misalnya Mazmur 139:19–22. Dalam kebudayaan Israel, mazmur semacam ini kadang dijadikan alasan untuk membenci musuh, seolah-olah doa tersebut mendorong orang untuk menginginkan kematian musuh. Namun, mazmur bukanlah hukum, melainkan ekspresi nyata dari teriakan manusia berdosa. Doa semacam ini tidak dimaksudkan sebagai pembenaran untuk melakukan kekerasan atau membunuh orang lain. Mazmur adalah sesuatu yang diberikan oleh Tuhan untuk menjadi contoh teriakan manusia yang berdosa di dalam keberadaan berdosanya dan berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan kemarahan dan menahan diri dari melakukan kejahatan secara langsung. Inilah kekuatan doa.
Sering kali, orang salah menafsirkan mazmur sebagai pembenaran untuk melakukan kekerasan. Padahal, mazmur tidak mengajarkan hal itu; tujuan pemberian mazmur adalah untuk menunjukkan kuasa doa, bukan untuk menjadi pembenaran untuk melakukan kekerasan. Kesalahan ini muncul karena manusia berdosa menafsirkan ayat-ayat menurut keinginan mereka sendiri. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada pembaca Alkitab, tetapi juga pada penganut agama lain maupun mereka yang mengikuti ideologi non-agama. Kekerasan dan kepahitan dapat muncul di mana saja karena manusia secara alami berdosa.
Yesus berkata: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya engkau.” Pernyataan ini menuntun kita untuk memahami mazmur-mazmur yang bersifat kutukan. Sering kali orang salah memaknai doa sebagai alat untuk memaksa Tuhan melakukan kehendak kita; jika kita bisa menghancurkan sendiri, doa dianggap tidak perlu. Padahal, mazmur diberikan sebagai ekspresi manusia yang hidup dalam dosa dan dunia yang jatuh. Doa adalah cara untuk menyalurkan kesengsaraan, bukan sebagai preskripsi hukum. Mazmur, seperti Mazmur 22 yang dikutip Yesus, menunjukkan bagaimana manusia boleh mengekspresikan penderitaan dan bergumul di tengah dunia berdosa. Mazmur adalah suatu contoh bagaimana kita bergumul di dalam dunia yang berdosa. Tuhan mau kita memakai doa untuk berteriak kepada Tuhan di dalam kesengsaraan kita.
Dalam Mazmur 139, yang dibenci pemazmur bukan sekadar orang yang membenci dirinya, tetapi mereka yang menentang Tuhan. Pemazmur tidak mendorong kita menjadi egois dengan mengutuk musuh semata. Sebaliknya, mazmur ini mengajarkan kita untuk menyelaraskan emosi dan hati kita dengan hati Tuhan. Dengan demikian, doa dalam mazmur ini membantu kita menyesuaikan perasaan kita dengan kehendak Tuhan, karena siapa pun yang melawan Tuhan sesungguhnya menentang struktur dasar dari keberadaan.
Mazmur juga mengajarkan bagaimana doa membantu kita memproses kegelapan dan kepahitan yang kita terima. Saat mengalami kejahatan, naluri manusia biasanya membalas dengan kegelapan yang sama, namun kuasa Yesus mengajarkan kita untuk menyerap kegelapan itu, bukan membalasnya. Kita tidak bisa mengatasi kepahitan dengan kuasa sendiri; jika mencoba, kebencian justru akan tumbuh dan menguasai hati. Melalui doa, kita dapat bergumul dengan kepahitan dan menyerahkan penghakiman kepada Tuhan, bahkan menyalurkan kemarahan kita di hadapan-Nya tanpa melakukan kekerasan sendiri. Mazmur ini bukan ajakan untuk membalas dendam, melainkan sarana nyata untuk menyerahkan kepahitan kepada Tuhan, yang tahu apa yang kita rasakan dan sanggup menelan kegelapan itu, sehingga kita tidak menuntut pembalasan dengan cara kita sendiri.
Paulus dalam Roma 12:19 mengingatkan kita untuk tidak menuntut pembalasan sendiri, melainkan memberi tempat bagi murka Allah, karena pembalasan adalah hak Tuhan. Jika kita mencoba menegakkan keadilan dengan tangan sendiri, kita berisiko salah menilai orang yang bersalah, karena kita tidak tahu pergumulannya dan tidak bisa masuk ke dalam dunia mereka. Dengan membalas kejahatan, kita seolah mengadili orang itu sendiri dan menentukan hukumannya, yang sering kali berlebihan. Akibatnya, kepahitan dan kegelapan justru terus mengalir dan memperburuk hubungan, bukannya menyelesaikan masalah.
Dalam doa, kita memberi Tuhan kesempatan untuk mengubah hati kita dan melihat segala sesuatu dari perspektif-Nya. Proses doa ini bisa berlangsung bertahap: pertama, kita mungkin marah dan mengutuki orang yang bersalah; kedua, kita menyadari bahwa Tuhanlah yang akan menghakimi mereka; ketiga, kita mulai merasa kasihan; dan keempat, kita mendoakan supaya orang itu bertobat. Inilah kuasa doa yang sering tidak dipahami manusia, doa bukan untuk mengubah Tuhan, tetapi untuk membiarkan Tuhan mengubah kita. Keadilan tetap ditegakkan, pembalasan dendam akan terjadi, namun biarlah itu menjadi milik Tuhan. Firman ini relevan dan mengajarkan kita untuk menyerahkan segala pembalasan kepada Tuhan melalui doa.
Beberapa minggu terakhir, berita-berita mengerikan muncul, khususnya di Amerika, terkait aksi kekerasan yang dilakukan oleh individu yang terpengaruh ideologi woke. Salah satu insiden tragis terjadi di sekolah Katolik, di mana pelaku, seorang transgender, menargetkan mukanya dengan gambar Yesus dalam sebuah video manifesto. Peristiwa ini menunjukkan betapa ideologi yang salah arah dapat memengaruhi mental seseorang, terutama ketika mereka melawan realitas dan mendapatkan afirmasi atas perilaku ekstrem mereka. Korban yang berdoa saat diserang menunjukkan kuasa doa, yang menahan kekacauan lebih besar. Sementara mereka yang tidak mengenal Tuhan meragukan doa, kenyataannya doa itulah yang menahan dunia dari balas dendam dan kekacauan yang lebih parah.
Beberapa hari terakhir muncul berita tragis tentang seorang pemuda Amerika, Charlie Kirk, seorang komentator politik yang ditembak mati. Kirk dikenal karena videonya yang menampilkan diskusi di kampus-kampus dengan mahasiswa, bertujuan memahami cara pikir mereka dan mempengaruhi mereka tanpa mengajarkan kekerasan. Media menyorotnya sebagai pendukung Trump atau orang di garis kanan, dan saya agak berhati-hati mau melihat apakah dia seorang di dunia politik yang mengaitkan dirinya dengan kekristenan. Tetapi pengamatan atas videonya menunjukkan bahwa ia benar-benar percaya kepada Tuhan dan berani menantang ketidakbenaran yang ditemuinya di kampus. Ia bukan teolog atau apologet, tetapi dengan jelas menyatakan imannya ketika ditanya. Kirk telah memengaruhi jutaan mahasiswa yang terperangkap ideologi salah, di tengah kampus yang menjadi tempat tumbuhnya ideologi yang berbahaya. Dulu saya juga tertarik dengan ideologi-ideologi kiri karena terlihat penuh kasih dan menarik di permukaannya. Namun, semakin saya mempelajarinya, saya menyadari masalah yang mendasar: ideologi itu tidak mengenal Tuhan dan menolak-Nya dalam akarnya. Akibatnya, ideologi tersebut cenderung menuntun pada nihilisme dan tindakan-tindakan drastis yang berbahaya.
Ada video akan Kirk yang kita akan lihat. Mari kita dengar apa yang dia katakan di sini waktu dia diwawancara George Janko. “Question you asked me is yes before I go on a college campus I my prayer is very simple. God use me for your will.”, kata Kirk. “Amen.”, balas Janko. “Because there’s a plan above us all. God is sovereign above all. The capacity and ability of our agency or action is very debatable. So what is God’s plan when I go on a college campus? I just believe I will only tell truth. I will not compromise and I’ll love on the lost. All I care about is what I do. And what I do is I fight and I know what God calls of us. So the specific teachings of Christ is go make disciples of all nations. I’m trying my best to do that and I’m trying to do it first on this nation cuz this nation impacts every other nation on the planet. Jesus called us to love children. Jesus called us to tell truth. Jesus called us to contest in the public square for his purposes. So I care about what God thinks of me. I literally don’t care about what people say about me. I couldn’t care.”, lanjut Kirk. “How long did it take you to get to that point?” tanya Janko. “Years. It takes years. You grow a thicker skin and or you start to realize what really matters in life. I mean, I’ve had an unbelievably blessed life. Uh, been doing this, now we’ll be 12 years on June 5th.”, tanggap Kirk. “Such a young man to do it. So young.”, kata Janko. Lalu Kirk berkata lebih lanjut, “Yeah. So, praise God. I mean, I’ve been all across the world. I’ve met with world leaders. I’ve flown in Air Force One, got to know a president. I have amazing family, the podcast, turning point USA is all that stuff. And so you you experience that and you’re like, “What actually matters?” What matter is your relationship with the Divine, your relationship with your family and kids, maybe your close collection of friend and your relationship with the truth.”
Saat saya mendengar bahwa pemuda yang efektif menyatakan kebenaran itu ditembak, perasaan kaget dan marah muncul. Pelaku tidak bisa mengalahkannya dalam debat sehingga menggunakan cara kasar, dan lebih ironis lagi, ada yang bersukacita atas kematiannya. Namun ajaran Yesus mengingatkan kita untuk tidak membalas dengan kekerasan. Ajaran sederhana ini menjaga dunia dari kerusakan total. Meskipun beberapa pihak yang marah ingin membalas, banyak orang percaya yang memilih merespons dengan doa, menunjukkan pengaruh iman dalam menghadapi situasi yang menguji kesabaran dan kebenaran.
Istri Charlie Kirk memberikan kesaksian yang mengharukan setelah kematiannya. Meski memiliki dua anak kecil dan situasi yang menyakitkan, ia tidak menyerukan balas dendam. Sebaliknya, ia mengajak semua orang berdiam di gereja, bergabung dengan komunitas yang percaya Firman Tuhan, dan mengenal Yesus sebagai Juru Selamat karena itulah yang Charlie inginkan. Reaksi ini menunjukkan kuasa yang Yesus ajarkan, kuasa yang menuntun orang menghadapi kesedihan dan kepahitan dengan iman. Kematian Charlie juga membawa banyak orang semakin mengenal Kristus, dan pengaruhnya selama hidup di kampus membuktikan pentingnya menyatakan kebenaran di tengah generasi muda.
Marilah kita menyadari betapa besar kuasa kerajaan surga yang Tuhan berikan ini. Dan waktu kita melakukan apa yang Yesus ajarkan, kita semakin menyadari bahwa kita adalah anak-anak dari Bapa di surga.