Download versi cetak: 1233_KebaktianPagi_2025-12-Okt 

Eksposisi Matius (86): Kasihilah Musuhmu

Matius 5:43-48

Pdt. Adrian Jonatan, M.Th.

*Ringkasan khotbah ini belum diperiksa pengkhotbah

Selama ini kita sudah sering membahas Khotbah di Bukit, dan setiap kali melakukannya kita melihat pola yang sama. Yesus selalu mengutip suatu firman atau perintah, lalu berkata, “Tetapi Aku berkata kepadamu.” Banyak orang mungkin mengira bahwa dengan ucapan itu Yesus bermaksud meniadakan hukum yang lama. Namun, sebelum semua itu, Yesus sendiri sudah menegaskan bahwa Dia tidak datang untuk meniadakan hukum Taurat. Karena itu, ketika Yesus berkata demikian, Ia bukan menolak hukum yang lama, melainkan menggenapinya dan memberikan pemahaman yang lebih dalam. Setiap kali kita membaca bagian ini, kita perlu memahami lebih dahulu konteks dari hukum yang dikutip Yesus, mengapa hukum itu diberikan dan apa maksudnya bagi umat pada zaman Musa. Setelah itu kita bisa melihat keindahan dan kedalaman maksud Tuhan, serta tidak meremehkan hukum tersebut. Lebih dari itu, kita akan semakin menghargai ajaran Yesus karena Ia memberi sesuatu yang melampaui hukum Musa. Jika kita tidak memahami apa yang disampaikan Musa, kita akan kehilangan makna besar dari apa yang Yesus ajarkan, bahkan mungkin menyepelekan keduanya. Sesungguhnya, Yesus tidak meniadakan hukum Musa, tetapi menjadikannya dasar yang kokoh untuk mengajarkan sesuatu yang lebih agung dan lebih tinggi.

Dalam khotbah sebelumnya telah dijelaskan latar belakang hukum Musa. Ketika Yesus mengutip, “Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu,” ternyata pernyataan itu tidak ditemukan dalam hukum Musa, karena Musa tidak pernah mengatakan hal tersebut secara langsung. Namun, bagian pertama dari ungkapan itu memang ada, yaitu perintah untuk mengasihi sesama atau sebangsa. Meski begitu, maksud Musa bukanlah menekankan kasih hanya kepada orang sebangsa, melainkan menegaskan bahwa kasih sejati harus dimulai dari orang yang paling dekat seperti tetangga, keluarga, atau orang yang hidup bersama kita. Mengasihi orang yang jauh itu mudah diucapkan, tetapi kasih sejati diuji dalam hubungan terdekat, bahkan ketika orang itu sulit dikasihi. Seorang istri tetap harus mengasihi suaminya yang mengorok setiap malam, dan seorang suami tetap mengasihi istrinya meski sering mengomel. Inilah kasih yang nyata, bukan kasih yang hanya berupa bayangan atau imajinasi. Jadi, perintah Musa bukan ajakan untuk meninggikan bangsa sendiri, tetapi panggilan untuk mengasihi sesama secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Bagian kedua dari kutipan “Bencilah musuhmu” sebenarnya tidak pernah terdapat dalam hukum Musa. Ungkapan ini muncul sebagai hasil penafsiran dari bangsa Israel sendiri. Karena manusia berdosa, mereka sering menggunakan sebagian ajaran Musa untuk membenarkan kebencian mereka terhadap musuh. Dalam hukum Musa memang ada perintah untuk menghancurkan bangsa-bangsa Kanaan dan tidak bergaul dengan mereka. Dari sinilah orang Israel mungkin menganggap bahwa Musa memerintahkan mereka untuk membenci musuh. Namun, sebenarnya perintah tersebut bersifat terbatas dan tidak dimaksudkan untuk dilakukan terus-menerus. Musa menyebut tujuh bangsa yang harus dimusnahkan karena mereka melakukan kekejian yang sangat besar di hadapan Tuhan. Tindakan itu bukanlah dorongan untuk membenci, melainkan bentuk penghakiman Tuhan yang dilaksanakan melalui bangsa Israel. Tuhan memerintahkan penghancuran mereka bukan karena kebangsaan mereka, tetapi karena dosa mereka yang dilakukan seolah-olah sebagai tindakan ibadah.

Tuhan beberapa kali menghukum manusia karena kejahatan mereka yang sudah begitu parah. Pertama pada zaman air bah, ketika kefasikan manusia membuat Tuhan memusnahkan seluruh bumi dengan air. Kedua, di Sodom dan Gomora, di mana penduduknya hidup dalam perbuatan yang sangat bertentangan dengan kehendak Tuhan. Demikian pula dengan tujuh bangsa di Kanaan, yang tidak hanya berdosa tetapi juga membenarkan dosa mereka dan semakin tenggelam di dalamnya. Perintah Tuhan untuk menumpas bangsa-bangsa itu bukanlah tindakan kejam, melainkan upaya untuk melindungi bangsa Israel. Jika bangsa-bangsa dengan gaya hidup jahat itu dibiarkan hidup berdampingan, orang Israel bisa terpengaruh dan ikut dalam praktik yang sama. Karena itu, Tuhan menghancurkan mereka agar kekejian itu tidak lagi menular kepada umat-Nya.

Baru-baru ini ada berita tentang sepasang pasangan gay yang mengadopsi dua anak laki-laki, lalu memperkosa dan merekam perbuatan itu untuk dijual. Setelah tertangkap, ditemukan ribuan video, dan keduanya dijatuhi hukuman masing-masing seratus tahun penjara. Kasus seperti ini menunjukkan betapa rusaknya masyarakat bila perbuatan semacam itu dibiarkan dan dinormalkan. Tuhan memerintahkan bangsa Israel untuk menghancurkan bangsa-bangsa yang hidup di dalam praktik yang keji, bukan untuk membenarkan kebencian, tetapi untuk melindungi umat-Nya. Namun bangsa Israel tidak menaati perintah itu dengan hati yang sesuai kehendak Tuhan. Mereka tidak menumpas bangsa-bangsa tersebut karena merasa kasihan, melainkan karena tergoda oleh gaya hidup mereka. Mereka melihat praktik penyembahan yang disertai hubungan seksual dan menganggapnya menarik. Akibatnya, mereka ingin meniru hal itu sambil tetap mengaku menyembah Tuhan. Inilah sebabnya Musa menegaskan perintah untuk menghancurkan tujuh bangsa itu, bukan untuk membenci sesuka hati, melainkan agar Israel menjadi alat Tuhan dalam menegakkan kekudusan.

Beberapa mazmur memang berisi seruan untuk mengutuki musuh, seperti Mazmur 139 yang berkata, “Tuhan, matikanlah orang fasik. Aku benci mereka yang membenci Engkau.” Mazmur semacam ini bersifat jujur dan kontekstual, bukan doa yang diperintahkan Tuhan untuk diucapkan setiap orang. Doa yang Tuhan ajarkan sebagai teladan adalah Doa Bapa Kami, sedangkan mazmur kutukan menggambarkan pergumulan hati manusia yang menghadapi kejahatan di dunia yang berdosa. Melalui mazmur ini, manusia belajar menahan diri agar tidak membalas kejahatan dengan cara sendiri, dan Tuhan menolong mereka memproses kebencian serta kemarahan dengan jujur di hadapan-Nya. Mazmur kutukan bukanlah alasan untuk membenci, melainkan cara membawa perasaan marah dan sakit hati kepada Tuhan. Ketika seseorang berdoa seperti pemazmur, ia belajar melihat bahwa kejahatan yang dilakukan orang bukan hanya melawan dirinya, tetapi melawan Tuhan. Dalam doa itu, hati manusia diselaraskan dengan hati Tuhan, dan kepahitan diserahkan kepada-Nya. Tuhan memanggil kita untuk berdoa bagi mereka yang menganiaya kita, bukan berpura-pura tidak terluka, tetapi jujur mengakuinya dan membiarkan Tuhan yang memegang kepahitan itu, seperti Kristus yang menanggung segalanya di kayu salib.

Dalam persekutuan doa sebelumnya dibahas bagaimana Daud berkata, “Aku dikhianati oleh orang-orang terdekatku, orang yang makan rotiku menikam aku dari belakang.” Ayat ini kemudian dikutip dalam Injil untuk menggambarkan pengkhianatan Yudas terhadap Yesus. Seperti Daud, Yesus pun mengalami kepahitan yang sama, sehingga Ia memahami penderitaan manusia. Saat kita merasa disakiti dan tidak ada yang mengerti, kita diingatkan bahwa Tuhan memahami pergumulan kita dan akan menghakimi dengan adil. Karena itu, kita diajak menyerahkan pengadilan kepada Tuhan, bukan melakukannya dengan cara sendiri. Di dalam doa, Tuhan perlahan mengubah hati kita, dari mengutuk, menjadi mengampuni, lalu mengasihani, bahkan mendoakan mereka yang bersalah agar dipulihkan. Contohnya, seseorang yang ditipu dan kehilangan uangnya mungkin merasa marah besar. Namun ketika ia berdoa, kemarahannya mulai berubah. Ia belajar mengampuni, lalu mulai melihat bahwa penipu itu pun terjebak dalam kesulitan. Ia akhirnya berdoa agar orang itu bertobat dan diselamatkan. Dari proses doa seperti inilah hati manusia dibentuk semakin serupa dengan hati Tuhan, bukan dengan berpura-pura tidak terluka, tetapi dengan jujur menyerahkan kepedihan kepada Tuhan yang mengubahnya menjadi kasih.

Karena itu Tuhan berkata, “Berdoalah bagi mereka yang menganiaya engkau.” Melalui doa, Tuhan memproses dan menyembuhkan kepahitan hati kita. Pesan ini sangat relevan di zaman sekarang, ketika orang Kristen sering menghadapi penolakan dan aniaya karena mempertahankan iman. Meskipun menjadi kelompok yang paling banyak dianiaya, orang Kristen jarang membalas dengan kebencian atau teriakan. Contohnya, di Nigeria tahun ini sudah lebih dari 7.000 orang Kristen dibunuh, namun berita tentang hal itu jarang terdengar luas. Dalam keadaan seperti itu, kekuatan orang percaya justru tampak melalui doa mereka kepada Tuhan. Doa inilah yang menahan dunia dari kehancuran yang lebih dalam. Sebab bila setiap orang membalas luka dengan balas dendam, dunia akan jatuh dalam siklus kebencian seperti di zaman Nuh, Sodom dan Gomora, atau bangsa-bangsa Kanaan. Karena itulah Yesus menegaskan pentingnya doa sebagai jalan kasih dan pemulihan, bukan pembalasan.

Yesus menjelaskan bahwa hukum Musa adalah dasar yang penting, tetapi Dia ingin membawa murid-murid-Nya kepada sesuatu yang lebih dalam. Ketika Yesus berkata, “Tetapi Aku berkata kepadamu,” Dia tidak meniadakan hukum Musa, melainkan memberikan pengertian yang lebih tinggi. Dan saya mau ajak kia fokus kepada dua kata ini, “Tetapi Aku.” Karena ini bukan sesuatu yang bisa diajarkan oleh guru di dalam dunia ini karena Dunia tidak bisa mengenali kekuatan untuk melakukan ini. Hanya Yesus yang bisa mengatakan ini kepada kita. Sesuatu yang hanya dapat dilakukan melalui perubahan batin, melalui kelahiran baru dalam diri seseorang. Banyak orang keliru melihat Yesus hanya sebagai guru moral. Mereka mencoba menerapkan ajaran-Nya dengan kekuatan sendiri, tetapi akhirnya gagal dan malah menjadi pahit serta menuntut orang lain untuk mengampuni. Padahal, manusia tidak dapat menjalankan ajaran Yesus tanpa kuasa Kristus. Dunia hanya mampu meniru kebaikan di permukaan, seperti yang diajarkan Machiavelli tentang virtue signaling, yaitu menunjukkan sikap baik demi keuntungan atau pengaruh. Namun Yesus tidak mengajarkan kepura-puraan seperti itu. Ia menghendaki agar kita benar-benar memiliki kuasa untuk mengasihi dan mengampuni, kuasa yang berasal dari Roh Kudus yang memperbarui hati manusia. Inilah kekuatan sejati dari kerajaan surga yang tidak dapat dimengerti oleh dunia.

Sebelum melanjutkan, penting untuk memahami perbedaan antara hukum dan kuasa Injil yang Yesus ajarkan. Hukum tetap menjadi fondasi yang harus ditegakkan, terutama di ranah publik, di mana orang Kristen memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Namun, tuntutan Injil bersifat pribadi dan hanya dapat dijalankan oleh mereka yang sudah mengalami kuasa Tuhan. Menggabungkan prinsip Injil secara literal ke dalam hukum publik, seperti “jika dipukul pipi kanan, berikan pipi kiri,” akan menimbulkan kekacauan, karena dunia belum mengerti Injil. Injil menuntut pengampunan yang lahir dari hati, bukan penghapusan hukum. Orang yang sudah menerima Injil memiliki kuasa untuk mengampuni karena mereka sendiri telah diampuni Tuhan. Contohnya, istri Charlie Kirk yang dibunuh mampu mengampuni pelaku bukan karena ringan hati, tetapi karena ia memahami kehendak Tuhan dan menerima kuasa pengampunan yang datang dari-Nya. Dalam hal ini, pengampunan bersifat pribadi dan hati nurani, sementara hukum dan kebenaran tetap ditegakkan di dunia publik.

Ada sebuah kutipan yang indah: “If you have been unjustly treated, remember that you have been unjustly forgiven.” Maksudnya, meskipun kita sering diperlakukan tidak adil, Tuhan sudah lebih dulu mengampuni kita secara tidak adil karena seharusnya kita menerima hukuman, namun Yesus menanggung hukuman itu bagi kita. Hal ini menunjukkan kuasa dan tuntutan Injil: kita diajak mengampuni, tetapi tetap menghormati hukum dan keadilan di dunia publik. Seringkali orang bingung membedakan antara hukum dan Injil. Misalnya, seseorang bisa mengampuni secara pribadi, tetapi pelaku kejahatan tetap harus dihukum menurut hukum yang berlaku. Sebagai orang Kristen, kita dituntut aktif menegakkan hukum dan kebenaran di ranah publik, sementara secara pribadi menjalankan tuntutan Injil yang diajarkan Yesus. Dunia tanpa Injil biasanya hanya mencintai teman dan membenci musuh, tetapi Injil mengajarkan kuasa yang lebih besar kuasa untuk mengampuni dan hidup selaras dengan kehendak Tuhan.

Tuhan berkata, “Kasihilah musuhmu,” sebuah perintah yang tampak sulit karena musuh sering kali menyakiti kita. Namun, Alkitab mengajarkan bahwa kasih bukan sekadar perasaan, melainkan tindakan nyata dan komitmen terhadap orang lain. Dunia modern sering membatasi kasih hanya pada ranah emosi, perasaan hangat, kedekatan, atau ketertarikan, padahal kasih sejati bersifat aktif. Dalam Alkitab, kasih selalu diwujudkan melalui tindakan. Yesus berkata, “Jika kamu mengasihi Aku, lakukanlah perintah-Ku,” menunjukkan bahwa kasih harus diwujudkan, bukan hanya dirasakan. Demikian juga kasih Allah dinyatakan melalui tindakan nyata: ketika manusia masih berdosa dan memusuhi-Nya, Kristus mati bagi kita. Mari kita bergumul bahwa kasih itu bukan cuma sekedar bahwa kita merasa mengasihi orang itu.

Saya teringat adegan yang viral dari film Fences, di mana Denzel Washington berperan sebagai seorang ayah. Dalam adegan itu, anaknya bertanya mengapa ayahnya seolah tidak menyukainya. Ayahnya menjawab bahwa ia memberikan makanan, baju, dan tempat tinggal bukan karena “suka” kepada anaknya, tetapi karena ia adalah ayahnya dan itu adalah tanggung jawabnya. Kasihnya bersifat aktif dan konsisten, bukan sekadar perasaan hangat atau afeksi. Cerita ini menekankan bahwa kasih sejati tidak bergantung pada perasaan yang naik turun. Seorang ayah bisa mengasihi anaknya bahkan saat sedang kesal atau tidak “suka” pada perilaku tertentu. Kasih aktif seperti ini selaras dengan prinsip Alkitab, yang menekankan tindakan nyata dan komitmen, bukan sekadar perasaan.

Contoh lain datang dari Nicolaus Zinzendorf, seorang bangsawan dan misionaris terkenal di Jerman. Ia menampung orang-orang Moravia di ladangnya, terlibat dalam gereja mereka, dan akhirnya memimpin gereja Moravia yang kemudian mengirim banyak misionaris ke berbagai belahan dunia pada abad ke-1700, termasuk ke Amerika Utara dan Islandia. Namun, dari catatan pribadinya, Zinzendorf kadang tidak menyukai orang-orang Indian yang dilayaninya. Ia mencatat mereka sulit dididik, malas, dan menyembah Tuhan dengan cara yang dianggap “liar.” Bahkan ada aturan di beberapa perkebunan yang membatasi pekerjaan bagi suku tertentu. Meski demikian, ia tetap konsisten melaksanakan misi dan memberitakan Injil kepada mereka. Dari situ terlihat bahwa kasih sejati bukan sekadar soal afeksi atau suka, melainkan konsistensi dan tindakan nyata untuk melayani, bahkan kepada orang yang kadang sulit disukai.

Dalam pelayanan di gereja, termasuk bagi para guru sekolah minggu, sering kali kita menghadapi situasi di mana afeksi terhadap anak-anak tidak selalu hadir. Sebagai orang tua pun kita mengerti hal ini, kadang kita penuh kasih, tetapi di waktu lain kesal karena anak sulit dididik. Di sinilah pentingnya membedakan antara perasaan suka dan kasih. Kasih sejati bukan sekadar perasaan, melainkan komitmen dan tindakan untuk tetap melakukan yang benar, bahkan ketika tidak ada rasa suka. Yesus mengatakan bahwa dengan demikian kita menjadi anak Bapa di surga, sebab Bapa juga mengasihi semua orang, termasuk orang jahat, dengan tetap memberi mereka matahari dan hujan. Ini bukan karena Tuhan memiliki perasaan suka kepada mereka, tetapi karena kasih-Nya bersifat memberi sesuai dengan yang patut. Demikian pula, mengasihi musuh berarti bertindak dengan kasih tanpa harus menunggu hadirnya perasaan afeksi. Afeksi memang penting, tetapi bukan hal yang utama. Yang terpenting adalah tindakan kasih yang benar.

Yesus berkata, “Kamu menjadi anak Bapamu,” bukan berarti seseorang baru menjadi anak Allah setelah melakukan perintah-Nya. Menjadi anak bukan hasil usaha, melainkan keputusan sang Bapa. Seperti halnya anak lahir karena keputusan orang tua, demikian juga kita menjadi anak Allah karena karya Allah Tritunggal, Bapa yang memilih, Anak yang menebus, dan Roh Kudus yang melahirbarukan. Namun, ketika kita melakukan ajaran Yesus, sifat dan karakter Bapa tampak nyata dalam hidup kita. Seperti pepatah “Like father like son”, anak secara alami mencerminkan sifat ayahnya, bukan karena paksaan, tetapi karena hubungan yang dekat. Demikian juga, saat kita hidup seperti Bapa, kita semakin disadarkan dan diteguhkan bahwa kita sungguh-sungguh adalah anak-anak Allah. Kita menaati bukan untuk menjadi anak, tetapi karena memang sudah menjadi anak Bapa di surga.

John Calvin menegaskan bahwa tanda adopsi kita sebagai anak Allah terlihat ketika kita melakukan perintah Tuhan. Banyak orang bertanya-tanya tentang jaminan keselamatan mereka, apakah benar-benar diselamatkan atau belum. Memahami teologi predestinasi memang penting untuk mengetahui bahwa Tuhan memilih, tetapi keyakinan sejati tentang menjadi anak Allah datang dari pengalaman hidup sehari-hari. Pertama, kita memperkuat iman dengan terus percaya kepada Kristus dan mendengarkan Injil. Kedua, ketika kita menghidupi ajaran Yesus, kita semakin diteguhkan bahwa kita benar-benar anak Bapa. Dengan menjalani kehidupan sesuai ajaran-Nya, kita tidak lagi bingung atau meragukan keselamatan, melainkan makin menyadari dan merasakan karakter Bapa tercermin dalam hidup kita. Inilah yang dimaksud Yesus ketika berkata, “Kamu menjadi anak dari Bapamu di surga.”

Untuk menutup, saya mengutip dari Martyn Lloyd-Jones, What is a Christian? A Christian is not a man who reads the sermon on the mount and says, ‘Now I am going to live like that. I am going to follow Christ and emulate his example. There is the life I’m going to live and I shall do so by my great will power.’ Nothing of the kind. I will tell you what a Christian is. He is one who has become a child of God and is in unique relationship to God. That is what makes him special. Why do you do more than others? Because he has been born again. He has been born spiritually and he is a child of God. God has become the father to him. Sebagai anak Allah, kita terdorong untuk meneladani dan melakukan kehendak Bapa di surga. Ketika Yesus berkata, “Jadilah sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga sempurna,” ajaran ini bukanlah beban, tetapi sumber sukacita, karena kita melakukannya sebagai anak yang benar-benar menjadi milik Bapa di surga. Kiranya pengertian ini meneguhkan kita dalam hidup sebagai orang Kristen.